Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana,
tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard)
tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa
cerita diambil dari cerita Panji.
Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada
tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang
cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of
Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih
populer di Jawa bagian
tengah dan timur, sedangkan wayang
golek lebih sering dimainkan diJawa Barat.
PEMBUATAN
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah
diproses menjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x
30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan
adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi
baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang
runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai
fungsinya berbeda-beda.
Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai
bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya
dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua
sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil
yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk
menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan
tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu
kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan
bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik,
warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.
JENIS-JENIS WAYANG KULIT BERDASARKAN DAERAH
Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta atau Wayang Kulit
Gaya Yogyakarta merupakan wayang
kulit yang secara morfologi memiliki ciri bentuk, pola tatahan, dan
sunggingan (pewarnaan) yang khas. Selain itu dalam pertunjukan Wayang Kulit
Gagrag Yogyakarta juga memiliki unsur-unsur khas yaitu, lakon wayang (
penyajian alur cerita dan maknanya), catur ( narasi dan percakapan) ,karawitan (
gendhing, sulukan dan properti panggung ).
Sagio alias Mas Lurah Perwitawiguna (pemberian gelar nama
dari Kraton Jogya) adalah seorang ahli tatah sungging wayang Kulit Purwa gagrag
(corak/gaya) Jogyakarta yang tinggal di desa kerajinan Gendeng Bangunjiwa
Kasihan Bantul. Ia didampingi oleh Sunarto dosen jurusan Kriya Fakultas
Senirupa Institut Seni Indonesia Jogyakarta pada Jumat 20 April 2012 jam 19.00
sampai dengan jam 22.00 yang lalu menularkan ilmu serta pengalamannya perihal
tatah sungging wayang kulit purwa gagrag Jogyakarta kepada para seniman dan
budayawan pada acara Bincang-bincang Seni di Bentara Budaya Jogyakarta.
Menurut penuturanan Pak Sagio, munculnya wayang kulit purwa
(yang dimaksud wayang kulit purwa adalah wayang yang menggambarkan tokoh-tokoh
dari cerita Ramayana dan Mahabarata). gagrag Jogyakarta ini seiring dengan
berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menyusul Perjanjian Giyanti yang
membagi kerajaan Mataram menjadi dua (palihan negari) yaitu Surakarta dan
Jogyakarta. Salah satu isi dari perjanjian tersebut bahwa Sultan Jogyakarta
akan melanjutkan tradisi Mataram, sedangkan Sunan Surakarta akan membuat yang
baru, termaksuk dalam hal ini Wayang Kulit Purwa.
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan merupakan salah satu
gaya pedalangan di tanah Jawa,
yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran, dan berperan sebagai bentuk
seni klangenan serta dijadikan
wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang
kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para pakar yang
memahami benar. Pakeliran ini mencakup unsur-unsur yaitu, lakon
wayang (penyajian alur cerita dan maknanya), sabet (seluruh
gerak wayang), catur (narasi dan cakapan) , karawitan (gendhing,
sulukan dan properti panggung).
Istilah wayang Jawa Timuran ialah konvensi pertunjukan
wayang Kulit di wilayah Brangwetan artinya di seberang timur daerah
aliran Sungai Brantas yang secara geografis mengacu pada wilayah pusat
pemerintahan Majapahit tempo dulu. Daerah yang dimaksudkan adalah Kabupaten
Mojokerto, Jombang, Surabaya (Kodya), eks karisedenan Malang (Malang, Pasuruhan,
Probolinggo dan Lumajang). Istilah Jawatimuran ini diperkirakan muncul sesudah
tahun 1965 dan semakin populer sekitar tahun 1970 –an seiring dengan
didirikannya Pendidikan Formal Sekolah Karawitan Konservatori Surabaya.
Beberapa prasasti yang ditemukan mengungkapkan bahwa,
pertunjukan wayang kulit di Bali memiliki perjalanan hidup yang cukup panjang.
Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Ugrasena berangka tahun 818 Saka (896
Masehi), yang kini di simpan di Desa Bebetin (Singaraja), antara lain
disebutkan : “….pandê tambaga, pamukul, pagending, pabunjing, papadaha,
parbhangsi, partapukan, parbwayang, panekan, dihyang api, tikasana, metani
kasiddhan dudukyan hu” (…pandai tembaga, penabuh gamelan, juru
kidung/penyanyi, juru tabuh angklung bamboo, pemukul kendang, peniup suling,
penari topeng, permainan wayang) Goris, 1954:55; Simpen AB., 1974: 3; Rota,
1977/78: 10) Prasasti di atas menyebutkan beberapa kelompok orang yang
menggambarkan profesi tertentu, termasuk orang yang mempertunjukan wayang atau
disebut dalang.
Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan , telah mengenal
pertunjukan wayang kulit sekitar awal abad ke-XIV. Pernyataan ini diperkuat
karena pada kisaran tahun 1300 sampai dengan 1400,dimana Kerajaan Majapahit telah
menguasai sebagian wilayah Kalimantan (Tjilik
Riwut, 1993), dan membawa serta menyebarkan pengaruh agama Hindu dengan
jalan pertunjukan wayang kulit.
Konon pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Andayaningrat membawa
serta seorang dalang wayang kulit bernama R. Sakar Sungsang lengkap
dengan pengrawitnya, pegelaran langsung ( sesuai pakem tradisi Jawa ) yang
dimainkannya kurang dapat dinikmati oleh masyarakat Banjar, karena lebih banyak
menggunakan repertoar dan ideom-ideom jawa, yang sulit untuk dimengerti
masyarakat setempat.
Ditinjau dari bentuk rupa wayang tidak dipungkiri bahwa
wayang Palembang berasal dari Jawa. Dari gaya wayang putren juga dari
rupa ornamen, bisa dipastikan wayang Palembang bergaya
gagrag Yogyakarta. Namun apakah dibawa langsung dari Yogjakarta
tidak ada yang bisa memastikan. Ada yang mengatakan wayang tersebut berasal
dari Tanggerang ? Ditilik dari wayang yang paling tua, jelas bahwa wayang
tersebut didatangkan dari Jawa. Sedang wayang-wayang srambahan ‘tokoh-tokoh
pelengkap’ dibuat di Palembang. Kemudian wayang-wayang yang paling baru adalah
wayang-wayang yang dibuat oleh pengrajin wayang gaya Surakarta dan juga Yogyakarta.
Dapat diperkirakan wayang Palembang dulunya berasal dari Jawa pada abad XVII,
yang dibawa oleh seorang yang melakukan migrasi ke Palembang. Wayang tersebut
dikembangkan oleh Nenek Moyang Dalang Ki Agus Rusdi Rasyid (dalang yang
sekarang) terbatas hanya di lingkungan keluarga.
Wayang Betawi (Jakarta)
Secara umum serupa dengan Wayang Kulit Purwa Jogjakarta. Wayang Kulit Betawi, menggunakan bahasa Betawi yang bercampur logat Jawa, Penduduk Jakarta, yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa, Dari bentuk fisik wayangnya, urutan adegan yang ditampilkan, bisa dipastikan Wayang Kulit Betawi ini adalah turunan langsung dari Wayang Kulit Purwa. Diperkirakan sewaktu Sultan Agung Anyakrakusuma mengerahkan prajurit Mataram menggempur Batavia, pada tahun 1628 dan 1629, sebagian tentaranya tercecer di daerah pinggiran kota bagian selatan dan tenggara. Mereka inilah yang kemudian menetap dan membawa budaya Wayang Kulit Purwa ke daerah sebelah timur dan tenggara Betawi. Dalam pertumbuhannya selama ratusan tahun, Wayang Purwa itu dipengaruhi unsur budaya Betawi, Sunda, dan Cina - sehingga jadilah seperti yang dapat disaksikan sekarang. Misalnya, toya yang merupakan salah satu senjata tradisional Cina, kadang-kadang muncul dalam Wayang Betawi, walaupun yang menggunakan toya dalam wayang itu adalah tokoh panakawan. Perbedaan lain antara Wayang Kulit Betawi dengan Wayang Kulit Purwa adalah unsur peran serta penonton. Peran serta penonton Wayang Betawi jauh lebih menonjol, hampir serupa dengan pergelaran Wayang Golek Sunda. Pada Wayang Kulit Betawi, antara dalang, penabuh gamelan, dan penonton dapat menyatu menjadi kesatuan pertunjukan yang mendekati utuh.
Secara umum serupa dengan Wayang Kulit Purwa Jogjakarta. Wayang Kulit Betawi, menggunakan bahasa Betawi yang bercampur logat Jawa, Penduduk Jakarta, yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa, Dari bentuk fisik wayangnya, urutan adegan yang ditampilkan, bisa dipastikan Wayang Kulit Betawi ini adalah turunan langsung dari Wayang Kulit Purwa. Diperkirakan sewaktu Sultan Agung Anyakrakusuma mengerahkan prajurit Mataram menggempur Batavia, pada tahun 1628 dan 1629, sebagian tentaranya tercecer di daerah pinggiran kota bagian selatan dan tenggara. Mereka inilah yang kemudian menetap dan membawa budaya Wayang Kulit Purwa ke daerah sebelah timur dan tenggara Betawi. Dalam pertumbuhannya selama ratusan tahun, Wayang Purwa itu dipengaruhi unsur budaya Betawi, Sunda, dan Cina - sehingga jadilah seperti yang dapat disaksikan sekarang. Misalnya, toya yang merupakan salah satu senjata tradisional Cina, kadang-kadang muncul dalam Wayang Betawi, walaupun yang menggunakan toya dalam wayang itu adalah tokoh panakawan. Perbedaan lain antara Wayang Kulit Betawi dengan Wayang Kulit Purwa adalah unsur peran serta penonton. Peran serta penonton Wayang Betawi jauh lebih menonjol, hampir serupa dengan pergelaran Wayang Golek Sunda. Pada Wayang Kulit Betawi, antara dalang, penabuh gamelan, dan penonton dapat menyatu menjadi kesatuan pertunjukan yang mendekati utuh.
Asal-usul wayang cepak di Cirebon bermula ketika Élang
Maganggong, putra Ki Gendeng Slingsingan dari daerah Talaga, berguru agama
Islam kepada Suta Jaya Kemit, seorang upas (sama dengan satpam
sekarang) di Gebang yang pandai mendalang. Élang Maganggong di kemudian hari
menurunkan ilmunya kepada Singgih dan keturunan-keturunan Singgih yang
berkedudukan di Desa Sumber, Kecamatan Babakan. Peristiwa inilah yang membuat
wayang cepak menyebar ke beberapa wilayah Cirebon bagian Timur seperti Waled,
Ciledug, Losari dan Karang Sembung, serta Cirebon bagian Barat yang meliputi
daerah Kapetakan dan Arjawinangun.
Kesenian wayang, kini bukan hanya menjadi kesenian khas suku
Jawa, tapi kini mulai dikembangkan di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Salah
satunya seperti yang dilakukan kelompok karawitan Panti Budoyo, Dusun Candi,
Desa Polagan, Kecamatan Galis, Pamekasan. Kelompok karawitan ini mulai
melakonkan wayang dengan dalang berbahasa Madura. Meski tidak seprofesional
penampilan wayang
Wayang siam adalah kesenian tradisional wayang yang
populer di Kelantan, Malaysia.
Wayang Siam dimainkan oleh seorang dalang, didampingi
oleh delapan orang pemain musik. Wayang siam dimainkan dalam bahasa
Melayu logat Kelantan.
Asal wayang siam tidak jelas. Beberapa bukti menunjukkan
kesenian ini berasal dari Jawa, terlihat dari istilah-istilah panggung yang berasal daribahasa Jawa.
Namun menurut para dalang di Kelantan wayang siam berasal dari Patani, yang
sekarang menjadi wilayah Thailand. Itulah sebabnya kesenian ini diberi nama wayang
siam.
Kisah yang ditampilkan dalam kesenian wayang siam didasarkan
pada versi cerita rakyat Melayu dari Ramayana, Cerita
Mahraja Wana. Nama Wanaadalah versi Melayu dari Rahwana. Kisah
ini berbeda dari versi literer dalam sastra
Melayu, Hikayat Seri Rama.
Di Kelantan terdapat pula jenis kesenian wayang lain, yang
disebut sebagai wayang jawa. Seperti namanya wayang jawa tidak lebih
dari versi Kelantan dari wayang
purwa, namun ditampilkan dalam logat Kelantan. Wayang jawa merupakan
kesenian istana, berbeda dengan wayang siam yang merupakan kesenian rakyat.
DALANG WAYANG KULIT
Dalang-dalang wayang kulit yang mencapai puncak kejayaan dan melegenda antara lain almarhum Ki Tristuti Rachmadi (Solo), almarhum Ki Narto Sabdo (Semarang, gaya Solo), almarhum Ki Surono (Banjarnegara, gaya Banyumas), Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogya), almarhum Ki Hadi Sugito (Kulonprogo, Jogjakarta),Ki Soeparman (gaya Yogya), Ki Anom Suroto (gaya Solo), Ki Manteb Sudarsono (gaya Solo), Ki Enthus Susmono, Ki Agus Wiranto. Sedangkan Pesinden yang legendaris adalah almarhumah Nyi Tjondrolukito.
Dalang adalah bagian terpenting dalam pertunjukan wayang
kulit (wayang purwa). Dalam terminologi bahasa jawa, dalang (halang) berasal
dari akronim ngudhal Piwulang. Ngudhal artinya membongkar atau menyebar
luaskan dan piwulang artinya ajaran, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi
keberadaan dalang dalam pertunjukan wayang kulit bukan saja pada aspek tontonan (hiburan)
semata, tetapi juga tuntunan. Oleh karena itu, disamping menguasai teknik
pedalangan sebagai aspek hiburan, dalang haruslah seorang yang berpengetahuan
luas dan mampu memberikan pengaruh.
seni wayang kulit merupakan seni budaya tradisional yang harus terus dilestarikan.
ReplyDeleteterima kasih atas infonya, jadi lebih tau ternyata bukan hanya ada di Jawa Tengah saja tapi juga merupakan bagian dari kesenian di Bali