English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

TRADISI UNIK DI INDONESIA



Tradisi Adu Betis
Apa yang terjadi jika dua orang pria dewasa saling mengadu kekuatan betis mereka dengan cara menendangkan satu sama lain? Itu lah kira-kira yang terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan tepatnya di Moncongloe, Kabupaten Maros setiap masa panen tiba. Adu Betis atau dikenal dengan sebutan Mappalanca memang sebuah permainan rakyat yang telah menjadi tradisi turun temurun.
Tradisi adu betis memang menjadi tradisi yang menarik untuk disaksikan. Setiap pria saling unjuk kekuatan dengan mengadu betis mereka. Baik tua maupun muda ikut berpartisipasi dalam tradisi ini. Sorak-sorai penonton semakin memeriahkan suasana kegembiraan pasca panen ini.
Uniknya, tradisi ini diadakan di tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat. Sebuah pemakaman keramat yang letaknya agak jauh dari pemukiman penduduk dijadikan lokasi dilaksanakannya tradisi ini. Makam yang terletak di sebuah bangunan dan ditumbuhi pohon-pohon ini dipercaya sebagai makam Gallarang Monconloe yakni leluhur desa sekaligus paman dari Raja Gowa Sultan Alaudin.
Tradisi adu betis biasa dilakukan pada Agustus bertepatan dengan masa panen dan pesta tahunan Agustusan (Perayaan Hut Kemerdekaan RI). Pada dasarnya, tradisi ini menjadi bagian dari serangkaian pesta tahunan untuk merayakan masa panen. Dalam tradisi ini juga terdapat upacara tumbuk padi (akdengka ase lolo) dan sepak takraw (paraga).
Pesta Tahunan ini merupakan acara akbar. Oleh karenanya pelaksanaannya pun diorganisir oleh sebuah kepanitiaan dengan melibatkan seluruh penduruk. Pendanaan pun dilakukan secara bergotong royong dengan mengumpulkan gabah dan uang. Hal ini juga menjadi cerminan dari nilai-nilai bangsa Indonesia.
Adu betis dimulai secara berkelompok. Para pria membentuk sebuah lingkaran besar, sementara para penonton menyaksikan di tepian arena. Setelah aba-aba diberikan, para pria tadi saling menendangkan betis mereka sebagai bentuk adu kekuatan. Tidak ada pemenang dalam tradisi ini. Nilai patriotisme serta kebersamaan lebih ditonjolkan dalam adu betis ini.
Adu betis merupakan salah satu dari beragam kebudayaan Indonesia yang terbilang unik. Selain keunikannya, tradisi adu betis terus dilaksanakan dari tahun ke tahun demi mempertahankan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai kebersamaan, solidaritas dan patriotisme merupakan kearifan lokal yang berusaha dipertahankan melalui tradisi adu betis ini.

Tradisi Karapan Marmut
PROBOLINGGO- Karapan Sapi sudah dikenal sebagai tradisi budaya Madura. Tapi bagaimana dengan Karapan Marmut?

Karapan atau balapan marmut ini adalah salah satu tradisi warga Madura yang tinggal Probolinggo dalam menyambut datangnya musim kemarau.

Karapan Marmut sama seperti Karapan Sapi yang memiliki sirkuit atau arena balap dan joki, serta pengibar bendera untuk memulai balapan.

Dari dua marmut yang diperlombakan, yang paling cepat mencapai garis finish adalah pemenang dari Karapan Marmut.

Hanya saja, yang membedakannya adalah dalam Karapan Marmut, sang joki tidak menaiki marmut seperti Karapan Sapi. Sang joki berlari di belakang sambil memacu marmut dari belakang dengan rumbai rumba agar berlari kencang.

Sirkuit atau arena balapan juga hanya berukuran 2 meter kali 50 meter saja, mengingat tubuh binatang ini berukuran kecil. Dalam balapan kali ini, karapan dimenangkan tiga orang juaranya untuk mempereutkan sebuah televisi dan kambing.

Pemenang Karapan Marmut kali ini, Suharlan, mengungkapkan kemenangannya disebabkan marmut yang dimilikinya sudah disiapkan, diterapi, diberi ramuan, dan ilmu tenaga dalam. (Hana Purwadi/RCTI) (uky)


Tradisi Ritual Tawur Nasi
SURYA Online, NGAWI - Ritual yang digelar di punden Dusun Tambakselo, Desa Planglor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi tergolong aneh.

Pasalnya, dalam menjalankan setiap ritual, nasi yang dibawa peserta ritual selalu dimakan dan sebagian digunakan makan bersama. Namun tidak demikian, di kampung yang tergolong berdekatan dengan hutan jati ini.

Nasi yang dibungkus dalam daun pisang dan jati itu, ditumpuk di tengah acara ritual. Selanjutnya, usai diberi doa-doa oleh sesepuh desa setempat, jutsru nasi itu digunakan bahan untuk perang nasi di tanah lapang sekitar lokasi punden desa itu dengan peserta mulai dari kalangan anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga kalangan orangtua.

Padahal, ritual yang selama ini disebut warga nyadran keselamatan dan meminta berkah atas hasil panen berlimpah ini, juga untuk mendapatkan berkah dan ridlo Allah SWT.

Salah seorang toko masyarakat setempat, Martono mengatakan semua peserta ritual membawa nasi yang dibungkus sebagian daun pisang dan sebagian lagi daun jati termasuk lauk pauknya. Bahkan dirinya sendiri juga membawa lauk pauk lengkap beserta nasinya. Setelah dikumpulkan menjadi sekitar 7 gungan nasi bungkus, kemudian warga mengitarinya dan membacakan doa-doa. Seusai doa, langsung dilaksanakan perang nasi dengan cara melempar nasi bebas ke arah mana pun dan ke siapa pun.

"Catatannya tidak ada dendam antar peserta meski kena lempar nasi sebesar kepalan tangan," terangnya kepada Surya Online, Jumat (14/9/2012) usai ritual.

Selain itu, Martono mengungkapkan jika awalnya sejak jaman nenek moyangnya ritual di pundem desa nasinya hanya digunakan ritual, didoakan dan kemudian di makan bersama peserta ritul. Namun, sekitar 15 tahun lalu, usai nasi didoakan di pundem nasi dan lauknya tidak dimakan warga bersama-sama lagi. Akan tetapi, sejak 15 tahun terakhir tradisi ini diubah dengan perang nasi.

Tradisi ritual ini diilhami maraknya anak muda yang sering bertengkar dan tawuran. Oleh karenanya pertama kali ritual dilaksanakan guna untuk mengurangi kenakalan remaja dalam bentuk tawuran diganti dengan ritual saling lempar nasi.

"Perang nasi ini hanya untuk menjalin keakraban dan persaudaraan. Demi begitu, semua unek-unek peserta terlampiaskan dan tidak ada dendam dengan warga lainnya," tegasnya.

Sementara, Kepala Desa Planglor, Suyadi menegaskan jika tradisi ini akan dilaksanakan setiap jumat legi setiap setahun sekali seusai lebaran. Tradisi itu, sudah dilaksanakan turun temurun sejak jaman nenek moyangnya penghuni awal di desanya. Tradisi ini, kata Kades untuk mendapatkan berkah dan keselaman bagi warganya. Selain itu, sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang melimpa kemarin.

"Memang untuk perang nasi ini, efektif dapat mengurangi tawuran antar remaja di kampung kami. Karena dulunya nasi hanya dibuat ritual dan didoakan sekarang dibuat perang nasi," urainya.

Sementara, usai mengikuti perang nasi sebagian warga memunguti sisa nasi yang masih bisa diselamatkan dari tumpukan nasi yang berserakan dan berceceran di sekitar punden desa. Namun, warga memungut sisa nasi ini bukan untuk dimakan akan tetapi untuk dikeringkan digunakan untuk pakan ternak.




Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Dimohon untuk meninggalkan komentar dengan ketentuan, dilarang keras menyinggung Isu SARA, Pornografi, dan Konten Negatif Lainnya. Terimakasih...

 

Emping Balado Macopon

FOLLOW TWITTER