Suku Sakai merupakan salah
satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku
Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai
Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya
Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri,
Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke
daratan Riau berabad-abad lalu. Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari
bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan
yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai
di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa.
Suku Sakai selama
ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di
hutan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka
berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah
industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan
sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan
pendatang baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di
Indonesia (Jawa, Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai
kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum
biasa mereka jalani.
Asal-Usul Suku Sakai
Ada yang
berpendapat bahwa suku ini berasal dari keturunan Nabi Adam yang langsung
hijrah dari tanah Arab, terdampar di Sungai Limau, dan hidup di Sungai Tunu.
Namun, tidak ada sumber tertulis pasti tentang asal-usul sesungguhnya suku
Sakai ini. Pendapat lain mengatakan bahwa Sakai merupakan percampuran antara
orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan
bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah
orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh
kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan
berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum
Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua
atau Proto-Melayu.
Gelombang migrasi
pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi
sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai
orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan
hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok
Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang
Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras
Wedoid dan Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian
melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.
Sementara
pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagarruyung dan
Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah
penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara
di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat
penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang
berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki
kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat
pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya
sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi
sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan
sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka
inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai. Bagi orang Sakai sendiri,
pendapat ini dianggap yang lebih benar, karena mereka meyakini bahwa leluhur
mereka memang berasal dari Negeri Pagarruyung.
Bisa jadi
anggapan pertama benar adanya, namun bisa juga kedua anggapan tersebut benar.
Karena begitu banyaknya tersebar masyarakat suku Sakai ini di sepanjang daratan
Riau dan juga Jambi. Populasi Suku Sakai yang terbesar hingga saat ini terdapat
di Kabupaten Bengkalis (Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat).
Arti Nama Sakai
Nama Sakai konon
berasal dari huruf awal kata Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. Maknanya, mereka
adalah anak-anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan
dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan.
Jelas julukan ini
diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut
berkonotasi pada hal yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan
jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak
yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang
semakin sempit di daerah Riau.
Kepercayaan
Salah satu ciri
masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang Melayu
adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang
Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek
moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis, dan
tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah
kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar
mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya
manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari
pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara
yang belum pernah dijamah manusia.
Lebih Maju
Kehidupan
masyarakat Sakai saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh pendatang serta pekerja
perkebunan dari tanah Jawa, Medan, Padang dan juga beberapa daerah di Sumatra
lainnya. Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman
penduduk baru serta program transmigrasi, telah mempengaruhi cara pemikiran dan
juga pola hidup suku sakai.
Mereka kini
jarang yang hidup di hutan, tetapi menetap bersama-sama dengan pendatang.
Kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai, kini berganti dengan
beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen. Sehingga keyakinan
terhadap makhluk halus yang sering disebut 'Antu, tidak lagi
menyelimuti kehidupan mereka. Anak-anak Suku Sakai pun sudah memasuki sekolah
(baca http://melayuonline.com/ind/news/read/10616 )
Suku Sakai adalah komunitas asli/pedalaman yang hidup di daratan Riau.
Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup
berpindah-pindah di hutan.
Banyak cerita dan
versi mengenai asal usul Suku Sakai, diantaranya sebagai berikut :
Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang
Melayu Tua. Catatan sejarah
mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah
orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh
kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan
berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum
Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua
atau Proto-Melayu. Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan
gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum
Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau
Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik,
orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk
menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang
tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan
Austroloid. Hasil kimpoi campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan
nenek moyang orang-orang Sakai.
Orang Sakai berasal dari Pagaruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai
dulunya adalah penduduk Negeri Pagaruyung yang melakukan migrasi ke kawasan
rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung
sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang
raja yang berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk
menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai
tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya
sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi
sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan
sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka
inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai,
K-ampung, A-nak, I-kan. Maknanya,
mereka adalah anak-anak negri yang hidup di sekitar sungai dan mencari
penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Hal tersebut
mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, di tepi-tepi hutan, di
hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airya untuk minum dan
mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar orang Melayu di sekitar
pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena
kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.
Sebutan SUku
Sakai yang primitif,menyendiri, anak negri yang hidup di sekitar sungai dan
mencari penghidupan dari hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan, kini
mulai diprotes oleh masyarakat suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut
berkonotasi pada hal yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan
jaman. Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi banyak
yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena wilayah hutan yang semakin
sempit di daerah Riau. Kini anak-anak Sakai sudah banyak yang mengenyam
pendidikan hingga Sarjana, bahkan Putra
asli suku sakai Muhammad Chandra, siswa kelas XI IPA 2 SMA Cendana Duri
Kabupaten Bengkalis, lolos menjadi pasukan Pengibar Bendera Pusaka di Istana
Negara pada 17 Agustus 2012.
Salah satu ciri
masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari orang Melayu
adalah agama mereka yang bersifat animistik. Meskipun banyak di antara orang
Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap memraktekkan agama nenek
moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magi, dan
tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah
kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar
mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya
manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari
pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara
yang belum pernah dijamah manusia. Mengenai bagaimana masyarakat Sakai
mempersepsi keberadaan hantu yang hidup di sekitar mereka, di bawah ini akan
dibahas tentang konsep hantu dalam masyarakat Sakai yang diyakini secara
turun-temurun.
makasih gan infonya dan semoga bermanfaat
ReplyDeleteok bos infonya dan sangat menarik
ReplyDeleteterimakasih sob buat infonya dan salam kenal
ReplyDeleteok sob infonya dan salam kenal
ReplyDeletekeren mas buat infonya da semoga bermanfaat
ReplyDeletebagus sob artikelnya dan menarik
ReplyDeletemakasih gan buat infonya dan salam sukses selalu
ReplyDeletetrimaksih gan buat penjelasanya sangat bermanfaat sekali
ReplyDeleteMenarik sekali, perlu saya coba ini..
ReplyDeletekebetulan lagi cara tentang hal ini.
Mau mendapatkan pelayanan yang baik dan ramah???
ReplyDeleteModal Kecil bisa mendapatkan hasil yg luar biasa...
ok mantap sob buat infonya dan salam kenal
ReplyDeletekeren mas buat infonya dan salam sukses selalu
ReplyDeletemakasih gan buat infonya dan semoga bermanfaat
ReplyDelete