"Saat ini ada persepsi, khususnya bagi warga negara Indonesia yang ke luar negeri, rupiah seolah tidak ada harganya karena nominalnya terlalu besar," kata Halim Alamsyah di Jakarta, Kamis.
Halim mengatakan pada 1998 nominal rupiah naik tajam sehingga sempat membuat dunia perbankan macet karena digit yang terlalu banyak. Akibatnya, pencatatan dunia perbankan sempat dihentikan sejenak untuk menghilangkan tiga nol kemudian mengalkulasi ulang.
Menurut Halim, nominal rupiah saat ini tertinggi kedua setelah mata uang dong Vietnam. Karena itu, untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, redenominasi dalam konteks kesetaraan antarnegara cukup penting. (Baca Artikel Lainnya).
Namun, Halim mengakui diperlukan sosialisasi yang cukup panjang untuk memberikan pemahaman bahwa redenominasi hanya pengurangan angka nol atau digit tanpa ada pengurangan nilai. Redenominasi berbeda dengan sanering yang memotong nilai uang.
"Dalam kehidupan sehari-hari pun sebenarnya secara sadar masyarakat sudah melakukan redenominasi dengan menghilangkan tiga nol. Itu terjadi di Bali serta beberapa kafe dan restoran yang menuliskan harga dengan menghilangkan tiga nol terakhir," tuturnya.
Fenomena itu, kata Halim, menunjukkan bahwa masyarakat semakin perhatian terhadap nominal rupiah. Masyarakat ingin nilai rupiah tidak terlalu tinggi dan inflasi juga tidak terlalu tinggi.
"Kondisi itu adalah momentum yang baik untuk melakukan redenominasi," ujarnya.
Halim Alamsyah menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Nasional "Redenominasi dan Upaya Penguatan Rupiah" yang diadakan Kwik Kian Gie School of Business di auditorium kampus tersebut.
Selain Halim, pembicara lainnya adalah Direktur Eksekutif Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral BI Iskandar Simorangkir, Sekretaris Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi dan pakar ekonomi Kwik Kian Gie School of Business Hasan Zein Mahmud. (Source click).
Editor: Unggul Tri Ratomo