English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Membaca RAPBN 2015

Oleh: Haris el Mahdi*

Pada tanggal 15 Agustus 2014, Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraan terakhir di depan sidang paripurna DPR RI. Pidato kenegaraan itu berkenaan dengan nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diproyeksikan untuk tahun 2015.

Dalam pidato itu, SBY menjelaskan bahwa pendapatan dari sektor pajak sebesar Rp. 1.370,8 Triliun atau 77,78 % dari keseluruhan pendapatan APBN, pendapatan dari sektor bukan pajak sebesar RP.  388,0 Triliun atau 22,01 % dari keseluruhan pendapatan APBN, dan penerimaan hibah sebesar RP. 3,4 Triliun atau 0,19 % dari keseluruhan pendapatan APBN. Total pendapatan sebesar 1.762,3 Triliun. Sementara itu, dari sisi belanja Negara, terakumulasi angka Rp. 2.019.9 Triliun. Artinya, terdapat defisit sebesar Rp. 257.572,3 Triliun.( Baca : Frans Kaisiepo, Pahlawan Nasional Asal Papua).

Jika mengacu pada pengalaman sebelumnya, defisit APBN yang diproyeksikan sebesar 257.572,3 Triliun itu akan ditutup dengan hutang atau dengan cara menaikkan harga BBM. Patut dicatat, subsidi BBM pada RAPBN 2015 dialokasikan sebesar Rp. 291.111,8 Triliun. Artinya, jika subsidi BBM dicabut akan terjadi surplus pada RAPBN 2015 sebesar Rp.33.539,5 Triliun.

Mencabut subsidi atau menaikkan harga BBM memang cara paling instan dan mudah untuk menutup defisit APBN tetapi – masalahnya – pencabutan subsidi itu akan berdampak cukup signifikan bagi sekitar 30-an juta penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan berpotensi menambah jumlah orang miskin baru, terutama mereka yang berhimpit dengan garis kemiskinan. Hal ini didasarkan oleh fakta bahwa pencabutan subsidi atau menaikkan harga BBM selalu diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat miskin.

Sebenarnya, jika pemerintah mau bekerja lebih keras, defisit RAPBN sebesar RP. 257, 6 Triliun itu dapat dilakukan dengan cara menaikkan pajak bagi para miliuner di Indonesia (millionaire tax) dan/atau perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Di samping itu, defisit anggaran juga bisa ditutup dengan melakukan penghematan pada pos-pos anggaran kementrian dan lembaga Negara yang tidak penting serta melakukan rasionalisasi gaji dan tunjangan para pejabat Negara.

Di samping itu, lubang-lubang potensi kebocoran APBN harus ditutup. Menurut audit BPK, kebocoran APBN mencapai persentase 32%, sebuah angka yang sangat tinggi. Bandingkan dengan defisit anggaran RAPBN 2015 yang hanya 12,75%. Artinya, andai saja korupsi bisa ditekan, tidak saja pembangunan menjadi optimal, tetapi defisit APBN juga bisa diatasi.

Politik Anggaran yang Timpang

Di samping masalah defisit anggaran, RAPBN 2015 juga menyajikan gesture ketimpangan dalam alokasi belanja Negara menurut fungsi. Rp. 939.572,7 Triliun dihabiskan oleh Negara hanya untuk pelayanan umum, yang didalamnya meliputi pembayaran gaji PNS dan subsidi (baik energi maupun non energi). Dengan kata lain, 68,1% belanja Negara diperuntukkan untuk membiayai belanja rutin.

Bandingkan, misalnya, dengan alokasi pada fungsi pendidikan yang hanya dipatok sebesar Rp. 119.459,2 Triliun atau hanya 8,7% dari seluruh belanja Negara, sangat jauh dari amanat undang-undang yang seharusnya minimal 20%. Ironisnya, anggaran pendidikan ini justru turun sekitar Rp 10 Triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Justru, kenaikan cukup signifikan terjadi pada anggaran pertahanan, keamanan, ekonomi , kesehatan, pariwisata, dan agama.

Di titik ini, kita melihat bahwa rezim SBY-Boediono di akhir pemerintahannya mempunyai tingkat sensitifitas yang rendah dalam mengkualitaskan sector pendidilan, setidaknya dalam hal pengalokasian anggaran. Turunnya anggaran pendidikan sebesar Rp. 10 Triliun menunjukkan hal itu.

Anehnya, anggaran dalam fungsi keagamaan justru naik sangat signifikan. Pada APBN-P 2014 dialokasikan sebesar Rp. 3.706,3 Triliuan naik menjadi Rp. 5.154,7 Triliun. Pertanyaannya, apa urgensinya menaikkan anggaran pada bidang agama ? bukankah anggaran di bidang pendidikan jauh lebih penting daripada keagamaan ?

Kenaikan cukup tinggi juga terjadi pada anggara pertahanan yang dipatok Rp. 94.903,2 Triliun, naik sekitar 12 triliun dari APBN-P 2014 yang dipatok sebesar Rp. 83.221,7 Triliun. Realitas ini menunjukkan bahwa pada RAPBN 2015 terjadi usaha untuk memperkuat TNI, terutama dalam hal politik anggaran. Patut dicatat, kenaikan anggaran pertahanan adalah yang paling tinggi di luar anggaran untuk pelayanan umum.

Gesture politik anggaran RAPBN 2015 menunjukkan bahwa pemerintahan SBY-Boediono mereduksi anggaran pendidikan dan mengalihkannya untuk pertahanan dan bidang keagamaan (yang mengalami peningkatan alokasi anggaran cukup besar).  Pembangunan dlam bidang keagmaan dan pertahanan mengalami peningkatan, sebaliknya pembangunan di bidang pendidikan mengalami penurunan.

Di samping bidang pendidikan yang mengalami penurunan alokasi anggran, bidang perumahan dan fasilitas umum juga mengalami hal yang sama. Jika pada APBN-P 2014, bidang perumahan dan fasilitas umum dialokasikan sebesar Rp. 27.853,4 Triliun, maka pada RAPBN 2015 turun menjadi 18.672,8 Triliun. Artinya, dana yang disediakan pemerintah pusat untuk memperbaiki jalan, membangun rumah murah, memperbaiki jembatan, dan fasilitas infrastruktur lainnya mengalami penurunan.

Dari paparan di atas, dapat kita abaca bahwa postur dan pengalokasian anggaran RAPBN 2015 tidak memberi stimulus untuk menggerakkan ekonomi riil, tidak berpihak pada pengembangan pendidikan, dan mereduksi fungsi Negara dalam hal penyediaan infrastruktur. Negara hanya menghabiskan anggaran cukup banyak dalam belanja rutin. Di samping itu, terdapat kemauan politik yang cukup kuat untuk memperkuat TNI.

Politik Anggaran yang Memenjara Jokowi-JK

Menyimak gesture anggaran pada RAPBN 2015 jelas terbaca sangat menyulitkan pemerintahan Jokowi-JK. Poin-poin penting dari visi-misi Jokowi-JK sama-sekali tidak tercermin dalam RAPBN 2015. Meskipun Jokowi telah membuat terobosan dengan membentuk tim transisi, tetapi penyusunan RAPBN 2015 yang tanpa melibatkan tim transisi Jokowi-JK membuatnya kontra-produktif.  Program-program unggulan Jokowi, seperti Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat sama-sekali tidak terakomodasi dalam RAPBN 2015. Demikian halnya dalam penanganan lumpur Lapindo juga tidak terakomodasi dalam RAPBN 2015.

Hal ini menjadi preseden buruk transisi kekuasaan dari pemerintahan yang lama ke pemerintahan yang baru. Jokowi-JK “dipaksa” untuk meninjau ulang semua program-program pembangunan yang tertuang dalam RAPBN 2015 dalam waktu singkat. Praktis, Jokowi-JK hanya mempunyai waktu kurang dari satu bulan untuk mempelajari RAPBN 2015.(IRIB Indonesia/SIPerubahan/PH). Sumber.

*Sosiolog Universitas Brawijaya dan pegiat sosial untuk Perubahan Progresif

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Dimohon untuk meninggalkan komentar dengan ketentuan, dilarang keras menyinggung Isu SARA, Pornografi, dan Konten Negatif Lainnya. Terimakasih...

 

Emping Balado Macopon

FOLLOW TWITTER