Mengakhiri jaman prasejarah, Bali sudah dituju untuk melakukan pencarian dan perjalanan oleh para penekun spiritual. Rsi Markandeya tercatat sebagai tokoh spiritual dari Jawa yang pertama menjejakkan perjalanan di Bali. Perjalanan melakukan pencarian kesucian batin dan keseimbangan alam lalu menempatkan tonggak tatanan agama Hindu di lereng selatan Gunung Agung yang kini dikenal sebagai Pura Agung Besakih. Pura Basukian dipercaya sebagai tonggak pertama Rsi Markandeya bersama pengikutnya memastikan Bali sebagai tanah tujuan membangun nilai spiritual.
Bagai berkelanjutan, tatanan hidup spiritual secara simultan beriring dengan tata pemerintahan di Bali. Pemerintahan Dinasti Warmadewa disebutkan dalam berbagai naskah kuno amat mendukung kelangsungan hidup beragama dengan budaya dan adat setempat sehingga mengundang kedatangan tokoh-tokoh spiritual dan tanah Jawa. Kedatangan Empu Kuturan pada sektar abad 11 secara pasti mampu merekat tatanan hidup masyarakat lokal dengan tatanan Agama Hindu yang dibawa dari Jawa. Tatanan desa adat dengan konsep parhyangan sebagai personifikasi Tuhan dalam fungsi Tri Murti adalah upaya menampung penyatuan konsep lokal dengan konsep Hindu. (Baca Juga Artikel Menarik Lainnya).
Bagai berkelanjutan, tatanan hidup spiritual secara simultan beriring dengan tata pemerintahan di Bali. Pemerintahan Dinasti Warmadewa disebutkan dalam berbagai naskah kuno amat mendukung kelangsungan hidup beragama dengan budaya dan adat setempat sehingga mengundang kedatangan tokoh-tokoh spiritual dan tanah Jawa. Kedatangan Empu Kuturan pada sektar abad 11 secara pasti mampu merekat tatanan hidup masyarakat lokal dengan tatanan Agama Hindu yang dibawa dari Jawa. Tatanan desa adat dengan konsep parhyangan sebagai personifikasi Tuhan dalam fungsi Tri Murti adalah upaya menampung penyatuan konsep lokal dengan konsep Hindu. (Baca Juga Artikel Menarik Lainnya).
Perjalanan spiritual berlanjut dilakukan oleh tokoh Agama
Hindu dari tanah Jawa. Penyatuan Nusantara oleh Majapahit adalah puncak dari
perjalanan dan transformasi agama dan budaya lokal dengan budaya Hindu. Dalam
perjalan waktu, Bali dan masyarakatnya kemudian menjalani keseharian mereka
dengan tata kehidupan, agama, seni, dan budaya yang unik. Keunikan inilah
kemudian, pada sekitar tahun 1579, menjadi perhatian seorang Belanda bernama
Cornelis de Houtman yang melakukan perjalanan ke Indonesia untuk mencari
rempah-rempah. Tanah yang subur, kegiatan pertanian dan keunikan budaya
penduduknya dalam menjalani keseharian sungguh menjadi perhatian besar bagi
ekspedisi de Houtman.
Berbarengan dengan Indonesia yang dikenal sebagai penghasil
rempah-rempah, Bali mulai dikenal dunia dari sisi budaya. Penguasaan Belanda
terhadap Indonesia pun pada sekitar abad 17 dan 18 tidak banyak memberi
pengaruh pada kehidupan agama dan budaya di Bali. Hindu di Bali pada masa-masa
itu bahkan memasuki masa kejayaan ketika kerajaan di Bali berpusat di Gelgel
dan kemudian dipindah ke Smarapura (Klungkung). Awal abad 20, barulah Bali
dikuasai oleh Belanda ditandai dengan jatuhnya Kerajaan Klungkung lewat Perang
Puputan Klungkung tahun 1908.
Sarana Wisata
Sejak penguasaan oleh Belanda, Bali seolah dibuka lebar
untuk kunjungan orang asing. Bali tidak saja kedatangan orang asing sebagai
pelancong namun tak sedikit para pemerhati dan penekun budaya yang datang untuk
mencatat keunikan seni budaya Bali. Dari para penekun budaya yang terdiri dari
sastrawan, penulis, dan pelukis inilah keunikan Bali kian menyebar di dunia
internasional. Penyampaian informasi melalui berbagai media oleh orang asing
ternyata mampu menarik minat pelancong untuk mengunjungi Bali. Kekaguman akan
tanah Bali lalu menggugah minat orang asing memberi gelar kepada Bali. The
Island of Gods, The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples, The
Morning of the World, dan berbagai nama pujian lainnya.
Tahun 1930, di jantung kota Denpasar dibangun sebuah hotel
untuk menampung kedatangan wisatawan ketika itu. Bali Hotel, sebuah bangunan
bergaya arsitektur kolonial, menjadi tonggak sejarah kepariwisataan Bali yang
hingga kini bangunan tersebut masih kokoh dalam langgam aslinya. Tidak hanya
menerima kunjungan wisatawan, duta kesenian Bali dari Desa Peliatan melakukan
kunjungan budaya ke beberapa negara di kawasan Eropa dan Amerika secara tidak
langsung, kunjungan tersebut sekaligus memperkenalkan keberadaan Bali sebagai
daerah tujuan wisata yang layak dikunjungi.
Kegiatan pariwisata, yang mulai mekar ketika itu, sempat terhenti akibat terjadinya Perang Dunia II antara tahun 1942-1945 yang kemudian disusul dengan perjuangan yang makin sengit merebut kemerdekaan Indonesia termasuk perjuangan yang terjadi di Bali hingga tahun 1949. Pertengahan dasawarsa 50-an pariwisata Bali mulai ditata kembali dan pada tahun 1963 dibangun Hotel Bali Beach (The Grand Bali Beach Hotel) di Pantai Sanur dengan bangunan berlantai sepuluh. Hotel ini adalah satu-satunya hunian wisata yang berbentuk bangunan tinggi sedangkan sarana hunian wisata (hotel, home stay, pension) yang berkembang kemudian hanyalah bangunan berlantai satu. Pada pertengahan dasa warsa 70-an pemerintah daerah Bali mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengatur ketinggian bangunan maksimal 15 meter. Penetapan ini ditentukan dengan mempertimbangkan faktor budaya dan tata ruang tradisional Bali sehingga Bali tetap memiliki nilai-nilai budaya yang mampu menjadi tumupuan sektor pariwisata.
Secara pasti, sejak dioperasikannya Hotel Bali Beach pada
November 1966, pembangunan sarana hunian wisata berkembang dengan pesat. Dari
sisi kualitas, Sanur berkembang relatif lebih terencana karena berdampingan
dengan Bali Beach Hotel sedangkan kawanan Pantai Kuta berkemabang secara
alamiah bergerak dari model hunian setempat. Model homestay dan pension
berkembang lebih dominan dibanding model standar hotel. Sama halnya dengan
Kuta, kawasan Ubud di daerah Gianyar berkembang secara alamiah, tumbuh di
rumah-rumah penduduk yang tetap bertahan dengan nuansa pedesaan.
Pembangunan sarana hunian wisata yang berkelas internasional
akhirnya dimulai dengan pengembangan kawasan Nusa Dua menjadi resort wisata
internasional. Dikelola oleh Bali Tourism Developmnet Corporation, suatu badan
bentukan pemerintah, kawasan Nusa Dua dikembangkan memenuhi kebutuhan
pariwisata bertaraf internasional. Beberapa operator hotel masuk kawasan Nusa
Dua sebagai investor yang pada akhirnya kawsan ini mampu mendongkrak
perkembangan pariwisata Bali.
Masa-masa berikutnya, sarana hunian wisata lalu tumbuh
dengan sangat pesat di pusat hunian wisata terutama di daerah Badung, Denpasar,
dan Gianyar. Kawasan Pantai Kuta, Jimbaran, dan Ungasan menjadi kawasan hunian
wisata di Kabupaten Badung, Sanur, dan pusat kota untuk kawasan Denpasar. Ubud,
Kedewatan, Payangan, dan Tegalalang menjadi pengembangan hunian wisata di
daerah Gianyar.
Mengendalikan perkembangan yang amat pesat tersebut, Pemerintah
Daerah Bali kemudian menetapkan 15 kawasan di Bali sebagai daerah hunian wisata
berikut sarana penunjangnya seperti restoran dan pusat perbelanjaan. Hingga
kini, Bali telah memilki lebih dari 35.000 kamar hotel terdiri dari klas Pondok
Wisata, Melati, hingga Bintang 5. Sarana hotel-hotel tersebut tampil dalam
berbagai variasi bentuk mulai dari model rumah, standar hotel, villa, bungalow,
dan boutique hotel dengan variasi harga jual. Keberagaman ini memberi nilai
lebih bagi Bali karena menawarkan banyak pilihan kepada para pelancong.
Sebagai akibat dari perkembangan kunjungan wisatawan,
berbagai sarana penunjang seperti misalnya restoran, art shop, pasar seni,
sarana hiburan, dan rekreasi tumbuh dengan pesat di pusat hunian wisata ataupun
di kawasan obyek wisata. Para pelancong yang berkunjung ke Bali, akhirnya
memiliki banyak pilihan dalam menikmati liburan mereka di Bali, akhirnya
organisasi kepariwisataan seperti PHRI (IHRA), ASITA, dan lembaga
kepariwisataan lain di Bali, yang secara profesional mengelola dan memberi
layanan jasa pariwisata, seakan memberi jaminan untuk kenyamanan berwisata di
Bali. (Sumber Click).
Permisi,
ReplyDeleteMau tanya, tempat private pool villa bali atau bali spa terkenal di Bali itu di daerah mana ya
sungguh bali mengesankan
ReplyDelete